Ada hal yang sedikit berbeda yang saya lihat di lingkungan rumah saya pada awal bulan februari beberapa hari yang salu.Perayaan hari raya Galungan dan Kuningan yang di desa saya biasanya tidak dirayakan seramai dan semeriah desa-desa lain di Bali, tanpa adanya penjor di depan rumah atau orang-orang yang berlalu lalang berpakaian adat untuk pergi bersembahyang di Pura, kali ini akan dirayakan dengan suasaana yang Berbeda. Orang-orang di Bali mneyebut bahwa kali ini hari raya Galungan adalah “Galungan Nadi”, satu kesempatan dimana hari raya jatuh pada saat Penanggal atau hari setelah Tilem (bulan mati) menuju Purnama . Seperti biasa, di desa saya beberapa keluarga dibagi dalam beberapa kelompok / Dadia yang mana masing-masing keluarga mengemong tugas masing-masing di Desa. Juru Gemblung adala mereka yang bertugas Megambel / memainkan alat musik tradisional, Gamelan. Juru Gambuh adalah kelompok keluarga yang bertugas menari gegambuhan, termasuk tari Baris. dan ada juru Lawang, adala mereka yang bertugas menarikan tarian Lawang ketika desa merayakan Saba Galungan. Keluarga saya masuk ke kelompok yang terakhir, yaitu Juru Lawang. Dari obrolan para tetua di lingkungan rumah, terakhir kali Saba Galungan diadakan 11 tahun yang lalu, tepatnya di tahun 2005, dan pada tahun itu pula terakhir kalinya tarian Lawang ditarikan di Desa Tigawasa sebelum akhirnya saba Galungan diadakan kembali di tahun ini di bawah pemerintahan kepala desa yang baru, yang kebeetulan juga hari raya Galungan dan kuningan jatuh pada hari penanggal.
jika pada Saba Galungan sebbelumnya, yang menari Lawang hanya 1 orang yang menari terus menerus selama Saba Galungan berlangsung, beberapa kawan anak muda di lingkungan rumah kali ini berinisiatif untuk ngaturang ngayah untuk menghaturkan tarian lawang di Desa. Dengan peralatan seadanya, beberapa pemuda dipandu oleh beberapa tetua berlatih di halaman rumah penari Lawang terdahulu.
Rabu wuku dungulan pada februari 2016, di desa mulai sibuk dengan kegiatan ngusaba. di pura desa orang-orang mulai melakukan tugasnya masing-masing, sementara di Rumah Juru Lawang, kami menunggu giliran untuk menari. Telah ditentukan bahwa pada saat Saba Galungan, hanya 2 orang senior yang akan menari, sementara untuk para pemuda akan ditugaskan pada saat Saba kuningan, 10hari berikutnya.
Saba, menurut saya bukan hanya tentang persembahan dan persembahyangan yang ditujukan pada sdewa dewi sesuhunan desa, tapi juga tempat berkumpul warga desa untuk menyaksikan pkegiatan budaya, serta tempat bersilaturahmi warga. Selain ditarikanya tarian Lawang, juga diiringi oleh Bacol, orang-orang yang berpakaian aneh dengan topeng-topeng lucu yang berusaha mengundang gelak tawa para pemedek yang hadir di pura desa.
Tarian Lawang, serta Bacol secara simultan ditarikan. Sementara semakin malam, warga desa semakin ramai berdatangan ke pura desa. ada banyak yang penasaran ingin melihat Tari Lawang serta lelakon para Bacol, ada yang bersama kekasih, sahabat, dan yang lainnya, dan hal ini berlangsung sampai keesokan harinya.
Saba Galungan berakhir pada hari kamis sore wuku dungulan, ditandai dengan acara memokmokan, yaitu Para penari Lawang serta beberapa Juru Gemblung berkeliling desa dan penari di depan Sanggah para tetua desa. ini pengalaman pertama saya dan juga beberapa orang lain di desa, karena kegiatan ini sangat jarang dilangsungkan.
Saba Kuningan pun berlangsung tidak kalah meriah, orang-orang ramai berdatangan ke pura desa, menyaksikan pertunjukan adat yang ditampilkan, Tari Lawang, Bacol, serta Rejang. Pada saat Saba kuningan ini pula tiba giliran kami anak-anak muda untuk ngaturang ngayah dan menari lawang di Pura Desa.
Dan saba Kuningan ditutup dengan Ijang Kidung Keli. sebuah tarian rejang sakral yang sayapun belum pernah menyaksikan sebelumnya.
sebuah keberuntungan bisa hadir dan menyaksikan sebuah peristiwa di rumah kita sendiri dan merekamnya dalam sebuah catatan.